"Sumpah" Terkikis, "Pemuda" Apa Kabar?

Ilustrasi pemuda.

UJARAN.OPINI – “Karena pemuda-pemudi Indonesia adalah aset berharga yang perlu dipelihara positif, bukan disuguhkan tontonan perebutan kursi atau sinetron bertuhan rating. Bukan pula pemuda konsumtif tak produktif, pemuda apatis masalah sosial atau ujungnya pandai berpikir namun tanpa realisasi, pemuda yang pun dalam dirinya tidak mengejar tapi dikejar (bahkan kadang menolak) keyakinan, pendidikan agama, dan pendidikan moral karena takut dianggap buta modernitas”.

“Bila engkau ditanya, “Hei pemuda Indonesia, berapa jumlahmu?” Jawablah “Kami hanya satu” – Bung Karno.

Terhitung telah 92 tahun lalu sejak pertama kali sumpah ini dikumandangkan. Sebentuk komitmen para pemuda di masa itu untuk maju dan terlibat dalam kemerdekaan republik kita tercinta, Indonesia. Masyarakat Indonesia haruslah bangga. Karena tanpa keberanian tersebut, kita tidak akan pernah mendapati diri yang nyaman dan bebas pada era kini.

Namun masyarakat Indonesia juga harus malu. Karena sayangnya, momen yang terhitung memasuki usia matang bila disandingkan dengan usia manusia (yang nyatanya bukan penjamin pula untuk kematangan berpikir dan bertingkah pola manusia dewasa ini) seakan hanya menjadi penghias dalam kalendar tahunan semata, kini.

Sesungguhnya, momen ini bukanlah hal yang kedudukannya sekedar menjadi selebrasi setahun sekali. Selain mengingat, memaknai adalah proses yang tak kalah penting. Proses memaknai menjadikan sistem nilai dalam diri individu akan terbentuk. Sistem nilai inilah yang menjadi penuntun hingga manusia dapat mencapai kematangan yang sebenar-benarnya matang dalam berpikir dan bertingkah kelak.

Pun dalam memaknai Sumpah Pemuda, bukan sekedar tiga baris pengakuan yang “satu”. Sumpah pemuda dan setiap butirnya membulatkan makna bahwa Bhineka tunggal Ika adalah mutlak pemersatu bangsa. Pemaknaan hingga penerapan nilai haruslah diresapi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak cukup hanya satu hari saja.

Peranan lembaga pendidikan, media pers, masyarakat (terutama keluarga), dan pemerintah sangat diperlukan, terutama sebagai poros, pemberi stimulus, dan pengalaman. Karena pemuda-pemudi Indonesia adalah aset berharga yang perlu dipelihara positif, bukan disuguhkan tontonan perebutan kursi atau sinetron bertuhan rating.

Hal-hal yang kini melahirkan pemuda konsumtif tak produktif, pemuda apatis masalah sosial atau ujungnya pandai berpikir namun tanpa realisasi, pemuda yang pun dalam dirinya tidak mengejar tapi dikejar (bahkan kadang menolak) keyakinan, pendidikan agama, dan pendidikan moral karena takut dianggap buta modernitas.

Permasalahan bangsa kian pelik hingga menemukan titik puncak kompleksitasnya. Pengangguran, krisis eksistensi, krisis mental, degradasi moral, radikalisme, antisosial, krisis jati diri, sebagian besar pemuda terjebak dalam kehidupan serba instant, hedonis. Terlepas dari idealisme dan militansi adalah bagian kecil dari sejumlah masalah yang sedang menggerogoti pemuda. Sebab, pondasi nilai-nilai nasionalisme yang telah terbentuk sejak ikrar pertama dideklarasikan telah terdegradasi.

92 tahun pasca Sumpah Pemuda, kondisi pemuda pun kini berbeda. Pemuda telah kehilangan ruh pergerakannya. Satu persatu semangat Sumpah Pemuda mulai runtuh. Pemuda yang seharusnya merupakan penerus perjuangan generasi terdahulu untuk mewujukan cita-cita bangsa, pemuda yang seharusnya menjadi harapan dalam kemajuan bangsa dengan ide-ide ataupun gagasan yang berilmu serta berdasarkan kepada nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat kini berada di persimpangan.

Ironinya, pemuda terjebak dalam politik identitas yang mematikan semangat nasionalismenya, pemuda menjadi bisu ketika ketidakadilan terjadi di Negara ini. Mereka terpecah belah oleh isu hegomoni, kapitalisme, kekuasaan dan rasis. Padahal seharusnya pemuda mampu menanggalkan segala indentitasnya demi persatuan agar terciptanya keadilan untuk mendapatkan kemerdekaan yang seutuhnya.

Kawan, jangan jadi pengkhianat sumpah! Jangan contoh orang tua kita yang berada di kursi parlemen. Sumpah serapah hanya jadi sampah. Ketika rakyat makin menderita dengan seluruh kebobrokan aparatur negara, sedangkan para pemudanya sibuk saling sikut. Miris ketika pemuda hanya dijadikan alat birokrasi untuk ajang propaganda di pemerintahan, dibungkam dengan politik money dan iming-iming jabatan.

Pemuda dilarang kritis, pemuda dilarang mengawal birokrasi. Katanya saja demokrasi, tapi faktanya? Democrazy. Orang tua kita di singasana juga sedikit gila, katanya saja rindu dikritik, setelah dikritik malah tercekik dan menuai polemik. Penjajah memang sudah pergi, tapi sistem penjajahan masih mencaplok ibu pertiwi.

Bangun kaum pemuda, kaum pembaharu. Siapapun kalian, berasal dari suku manapun, beragama dan kepercayaan apapun, selama kalian para pemuda Indonesia, tugas kalian adalah satu, membela tanah air Indonesia sampai titik darah penghabisan.

Sungguh, memaknai adalah hal yang sangat penting. Terlebih setelah kemerdekaan, maka peran pemuda dalam mempertahankan persatuan Indonesia tentu semakin besar.

Dibutuhkan pemuda-pemudi khususnya yang cerdas, tak pengecut, menghargai perbedaan, yang merupakan bibit-bibit mapan dalam hal moral maupun kematangan bersikap demi kemajuan bangsa. Dalam tanda kutip berguna, dan memiliki peran yang dapat dikenang dandialirkan pada keturunan berikutnya meski telah tua kelak.

Penulis : A. Wahyu Pratama Hasbi
Instansi : UIN Alauddin Makassar

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis

0 Comments