OPINI : Pilkada dan Korupsi, Sehari Menentukan Nasib

UJARAN.OPINI – Pesta demokrasi dalam hal ini Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak di berbagai daerah akan segera dilangsungkan pada tanggal 9 Desember 2020 yang berkolaboratif dengan momentum Peringatan Hari Anti Korupsi.
rakyat-rakyat kecil menyumbang negara tanpa imbalan/ rampok-rampok diberi rekomendasi dengan kop sakti instansi/ maling-maling diberi konsensi/ tikus dan kucing dengan asyik berkolusi. (Gus Mus).

Di mata salah satu ulama besar NU (Gus Mus), “pesta korupsi para elite turut jadi penentu dari keruntuhan agenda-agenda HAM dan kegagalan memberi teladan amalan HAM demi kebahagiaan bersama.”

Entah mengapa pembahasan ini lebih rawan dimulai dengan menyinggung persoalan korupsi ketimbang memuja pelaksanan Pilkada. Karena bisa jadi korupsi mengganggu tidur nyenyak bangsa Indonesia. Pilkada dan Korupsi memang segar dikawinkan dengan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Pilkada menggiring hak pilih rakyat, sedang Korupsi mengancam hak hidup rakyat. Keduanya memang penting dirayakan dengan dengan baik-baik, Pilkada dilakoni dengan hati nurani, sedangkan Korupsi sekiranya diusut dengan gagah berani.

Momentum Pilkada dan Korupsi dirayakan bersamaan, rakyat diaduk, sehari menentukan nasib. Kecemasan-kecemasan mulai berdatangan. Haruskah terlebih dahulu mengaspirasikan terhadap banyaknya dugaan korupsi ataukah mengutamakan calon pemimpin yang bisa jadi bermental korup. Usut tuntas masalah korupsi dan memilih calon korup, memang tak ada jaminan. Entah, fakta demikian mirip-mirip arisan. Yang naik akan menerima setoran peserta arisan. Kalau praktek korupsi, bisa jadi mengkorup setoran rakyat kepada negara.

Keresahan memang berserahkan, bukan karena kesalahan melainkan terjadinya pembiaran. Pilkada menjanjikan kesejahteraan, namun korupsi meluluhlantakkan perikemanusiaan. Mahatma Gandhi bilang, “Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.” Demikian ungkapan yang tersurat penuh makna.
Kadang-kala kehidupan menjadi tak seimbang, tirani berbenturan, kaum lemah dihantui penderitaan, kekuasaan meraih kebahagiaan dan piagam penghargaan. Polemik kemanusiaan semestinya mampu diminimalisir oleh pemimpin selaku pemangku amanah. Sebab mereka dipilih untuk jadi hakim perkara umat dan bangsa, bukan justru memperhalus jalan derita. Demikian juga disinggung oleh Pramodya Ananta Toer, “Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan menjadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya.”

Nah, menentukan nasib untuk 5 tahun ke depan memang harus berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945. Hak pilih tolong jangan dihiasi dengan intervensi, kecaman, pembungkaman serta ketidakadilan lainnya. Menuntaskan pesta korupsi seharusnya jadi prioritas negara sebelum menghadirkan pemimpin baru, agar tidak menjadi benalu kemanusiaan.

Hiruk pikuk persoalan korupsi 5 tahun terakhir tidak berbanding lurus dengan aturan yang ada, Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2001. UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Keputusan Presiden RI No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Demikian aturan yang cukup meriah, namun kadang implementasinya kurang bergairah.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan, terdapat 169 kasus korupsi selama periode jalannya semester di tahun 2020. Hal ini dengan berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW sejak 1 Januari hingga Desember 2020 yang kemudian menjangkit pula 4 Menteri dan beberapa Kepala Daerah di berbagai kabupaten kota. Sejak berdiri Desember 2002 lalu hingga saat ini, KPK berhasil menangkap sejumlah kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Pengungkapan kasus kepala daerah yang korupsi sejak 2019-2020 menambah deretan panjang catatan sejarah operasi tangkap tangan (OTT) KPK setiap tahunnya. Meskipun begitu, KPK menyesalkan mengapa masih banyak terjadi praktik korupsi yang dipelopori oleh pemimpin rakyat ini. Semoga saja KPK mampu menyelesaikan persoalan korupsi yang kian menjadi tradisi penghianatan terhadap bangsa Indonesia.

Nah darinya itu, selain merayakan pesta pilkada maka pesta korupsi pun harus juga dilawan. Cak Nur, panggilan akrab dari Nurcholis Madjid dalam sambutan gerakan anti korupsi, “Kejahatan Korupsi Harus Dibunuh” mengatakan bahwa “tidak mungkin gerakan seperti ini tidak didukung guna menyelamatkan bangsa yang sudah terkena penyakit kronis. Kalau kita melakukan satu kejahatan, tetapi merasa bahwa hal ini adalah kebaikan, ini merupakan kejahatan yang paling tinggi, yaitu kebangkrutan spiritual.” Kejahatan korupsi memang harus dibunuh sebab terjadinya kebangkrutan spritual pada pelaku korup, juga mengakibatkan kebangrutan ekonomi suatu negara.

Melawan korupsi seharunya menjadi pekerjaan prioritas pemimpin bangsa. Bukan justru setelah terpilih malah memelihara pejabat yang bermental korup dan menghalalakan ritual korupsi. Semoga kehadiran bacaan yang cukup bayi dalam dunia literasi ini mampu menjadi oase segar dalam merefleksi pentingnya melawan korupsi. Yang terpenting juga ialah semoga sepulang merayakan pilkada, bangsa Indonesia tak menjadi gelandangan di negeri sendiri akibat korupsi. Maka kawal kasus korupsi sampai tuntas.

Selamat berpilkada, tapi korupsi jangan dibiarkan meraja lela. Ingat nasib bangsa!


Penulis : Iwan Mazkrib (Ketua Umum UKM Seni Budaya eSA UINAM)

0 Comments