OPINI: Nyawa Ibu dan Anak, Tumbal Bagi Demokrasi

UJARAN.OPINI – Tahun 2020 menorehkan catatan panjang kasus pembunuhan tragis yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya. Pada Januari 2020, kita disuguhi dengan kasus dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru berusia 2 tahun, (Merdeka.com, 08/01/2020). Pada Februari juga tercatat seorang ibu membunuh darah dagingnya yang baru saja ia lahirkan (tribunnews.com, 13/02/2020). Tak berselang lama, pada bulan April di Sumatra Selatan diketahui seorang ibu membunuh anaknya yang berusia 2 tahun lebih. Pada bulan Juni, seorang ibu di Jember tega membunuh kemudian membuang anaknya yang baru saja ia lahirkan di sungai, (detik.com, 07/04/2020). Tercatat juga pada bulan Agustus 2020 seorang ibu di Banten tega menghabisi nyawa anaknya yang masih berusia 8 tahun hanya karena sulit memahami pelajaran daring, (cnnindonesia.com, 15/09/2020).

Di penghujung tahun 2020 ternyata kita kembali dikejutkan dengan pembunuhan sadis atas 3 orang anak laki-lakinya yang berinisial YL (5), SL (4), dan DL (2) oleh ibu kandungnya sendiri. Pembunuhan ini dilakukan sang ibu saat sanak keluarga lainnya termasuk sang bapak pergi ke TPS untuk memilih calon kepala daerah yang baru. Dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi, diketahui bahwa motif pembunuhan tersebut adalah himpitan ekonomi, ujar Aiptu Yansen Hulu selaku Humas Polres Nias yang menangani kasus ini. Tak lama berselang peristiwa pembunuhan tersebut, sang ibu MT akhirnya merenggut nyawa karena sakit (news.detik.com, 14/12/2020).

Sungguh ironi, saat sang bapak beserta anggota keluarga yang lain ikut merayakan pesta demokrasi, menyumbangkan suara dengan harapan agar hidup bisa lebih baik saat terpilihnya pemimpin baru nanti. Namun pada saat yang sama ketiga anaknya harus kehilangan harapan hidup selamanya. Begitupun sang ibu yang akhirnya menyusul ketiga anaknya tersebut.

Kemiskinan menghimpit kehidupan mereka bahkan merenggut nyawa ibu dan anak-anaknya. Bagaimana tidak, menurut pengakuan sang bapak di channel youtube Indonesia Lawyers Club (ILC) pada tanggal 17/12/2020, “mereka kadang hanya makan sekali dalam tiga hari”. Wajar saja psikis seorang ibu terganggu hingga nekat untuk mengakhiri nyawa anak-anaknya.

Naluri keibuan tak lagi hadir dalam diri seorang ibu. Tangan yang seharusnya membelai sang anak malah mengangkat parang untuk menggorok leher anaknya ataupun mengangkat benda berbahaya untuk melempari sang anak. Begitu banyak nyawa anak-anak tak bersalah atau bahkan balita pun sang ibu yang menjadi tumbal penerapan sistem demokrasi. Demokrasi dengan asas sekulerisme merampas peran agama dalam mengatur kehidupan. Alhasil tidak ada penanaman akidah Islam dalam pendidikan bagi setiap individu. Inilah penyebab utama tergerusnya naluri keibuan dalam diri seorang ibu.

Selain itu, realitas kehidupan yang buruk di mana sulitnya setiap individu untuk memenuhi semua kebutuhan pokok mereka disebabkan sistem ekonomi kapitalistik yang diadopsi oleh demokrasi. Demokrasi menerapkan sistem ekonomi kapitalistik yang memberikan kebebasan kepada siapapun untuk bisa menguasai atau memiliki apapun. Termasuk juga menjarah harta milik publik sehingga kita bisa melihat adanya bisnis berbagai sumber daya alam seperti tambang emas, batu bara, minyak, gas, air dan sebagainya yang dikuasai oleh swasta. Pihak swasta memperoleh milyaran bahkan triliunan kekayaan dari pengelolaan SDA tersebut.

Sementara mayoritas rakyat berat menjalani kehidupan; tidak punya modal pekerjaan, pengetahuan yang terbatas, SDA yang bisa mereka manfaatkan sudah dijarah oleh swasta sehingga peluang untuk mencari sumber pekerjaan kecil alhasil tak mampu menafkahi keluarga. Di lain sisi, harga kebutuhan pokok melambung tinggi begitu juga biaya akan layanan kesehatan, pendidikan dan kebutuhan publik lainnya. Demokrasi terbukti gagal melindungi nyawa ibu dan anak-anak bahkan demokrasi menjadi sumber segala permasalahan.

Realitas berbeda justru nampak pada negeri yang diatur oleh syariat Islam yang kaffah. Dalam sistem pemerintahan Islam, kehidupan telah diatur oleh sang Khaliq Allah SWT dengan sangat sempurna. Islam menempatkan beban nafkah dan peran sebagai kepala keluarga di pundak suami. Jika suami tak ada maka pembebanan nafkah jatuh pada pihak wali perempuan. Jikalaupun pihak-pihak yang menanggung tidak ada maka negaralah yang berkewajiban menanggung kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, agar laki-laki mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, negara berkewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya dan juga memberikan skill kepada rakyatnya melalui pendidikan.

Dalam hal pendidikan, Islam memandangnya sebagai kebutuhan pokok atau hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negara berkewajiban menyediakan akses pendidikan secara cuma-cuma atau dengan harga yang sangat murah. Agar bisa diakses oleh semua kalangan baik yang miskin maupun yang kaya.

Lalu dari mana negara Islam mempunyai dana untuk menanggung kebutuhan rakyatnya secara cuma-cuma? Itu adalah kalkulasi seluruh pendapatan negara baik dari kekayaan milik umum seperti tambang, emas batu bara, minyak, gas, maupun kekayaan milik negara seperti kharaj dan sebagainya. Jadi kekayaan milik umum tidak dijual kepada swasta melainkan dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya. Inilah realitas kehidupan yang akan dirasakan oleh umat manusia manakala mereka diatur oleh sistem Islam yang kaffah.

Sebagaimana dulu yang pernah terjadi pada masa saat Islam diterapkan secara sempurna. Sebut saja pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, dengan penerapan syariat Islam di segala aspek maka tidak ditemukan masyarakat yang miskin atau berhak diberi bantuan.

Penulis : Musyayyadah Syahrir (Aktivis Muslimah)

0 Comments