OPINI: Utang Membengkak, Rakyat Tercekik

Ilustrasi.

UJARAN.OPINI – Utang negeri ini semakin membengkak, tampaknya tak bisa lepas dari jeratan utang, bukannya berkurang namun tiap tahun jumlahnya semakin menggunung. Posisi utang pemerintah pusat per akhir November 2020 berada di angka Rp5.920,64 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,13 persen. Jika dibandingkan dengan posisi utang per akhir November 2019 yang sebesar Rp4.814,13 triliun, artinya dalam setahun ini utang pemerintah sudah bertambah Rp1.096,33 triliun.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy mengatakan utang pemerintah memang meningkat terutama pada periode pertama kepemimpinan Joko Widodo. Pembangunan Infrastruktur yang direncanakan pemerintah pun tak sejalan dengan kemampuan pembiayaan yang mumpuni. Jadi, sebelum pandemi pun sebenarnya tren utang pemerintah meningkat.

Ketika pandemi covid-19 terjadi kondisi makin kompleks bagi Indonesia, karena utang sebelum pandemi dan juga kebutuhan belanja yang makin besar akibat penanganan pandemi. Hal tersebut ia sampaikan pada IDX Channel Market Review, Rabu 30 pada Desember 2020.

Mirisnya, negeri ini berada pada kondisi gali lubang tutup lubang. Artinya Indonesia meminjam uang untuk menutupi cicilan bunga dan pokok utang. Sebelum pandemi, ekonomi Indonesia memang sudah terjatuh. Namun pandemi membuat defisit makin lebar karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan negara melonjak.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan saat ini utang Indonesia tercatat menempati urutan ke-7 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam utang luar negeri (ULN). Bhima menyayangkan di tengah situasi pandemi ini pemerintah masih terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas.

Padahal dia menilai utang valas termasuk jenis utang yang rentang membengkak khususnya apabila terjadi guncangan dari kurs rupiah. Bahkan pada tahun 2020 saja pemeirntah telah menerbitkan global bond sebesar 4,3 USD, dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Artinya pemerintah saat ini sedang mewarisi utang pada generasi ke depan. Di mana beban utang untuk satu orang penduduk rata-rata mencapai 20 juta rupiah lebih. Alhasil, rakyatlah yang menanggung beban sulit di kemudian hari.

Persoalan utang memang akan selalu membelit negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Dengan narasi manis demi pembangunan dan infrastruktur lembaga pengutang internasional seperti IMF dan juga negara-negara yang memiliki ambisi ekonomi akan datang menawarkan utang sebagai alat penjajahan modern. Padahal negara yang berutang itu akan dijadikan sebagai sapi perahan dan dikeruk segala sumber daya alamnya untuk membayar utang.

Dampaknya pemerintah tentu akan menekan pengeluaran dan menambah pemasukan dengan meningkatkan pajak. Untuk menekan pengeluaran pemerintah biasanya akan mengurangi subsidi untuk rakyat. Sistem pemerintahan demokrasi pun turut mengamini dikte lembaga pengutang ini. Sistem yang tidak menggunakan standar halal/haram sebagai pembuat kebijakan membuat penguasa dengan mudah mengambil utang ribawi yang jelas diharamkan Allah.

Tak heran jika akhirnya negara semakin terbelit utang dan hidup rakyat semakin sengsara akibat tingginya pajak dan berkurangnya subsidi satu per satu. Belum lagi beban utang yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Tak hanya itu, sistem demokrasi kapitalisme yang lahir dari konsep pemisahan aturan agama dari kehidupan atau sekularime ini juga telah melahirkan para pejabat materialistik dan korup. Seringkali berbagai anggaran hasil utang itu banyak yang dikorupsi pejabat.

Maka narasi utang untuk pembangunan dan menyejahterakan rakyat hanya bualan belaka dan tak mampu memberikan efek perbaikan pada kondisi perekonomian negara.

Pangkal dari keterpurukan dunia Islam termasuk Indonesia justru karena mengadopsi ideologi kapitalisme liberal ini dengan mencampakkan syariah Islam. Penerapan ideologi kapitalisme inilah yang menguatkan penjajahan asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam atas nama hutang, investasi asing, atau perdagangan bebas. Privatisasi BUMN, pengurangan subsidi yang dipaksakan IMF dan World Bank justru semakin memperberat beban hidup rakyat. Dengan kapitalisme ini, alih-alih bangkit, Indonesia justru akan semakin bangkrut secara ekonomi maupun politik.

Saat bangsa ini mencari solusi, masalah sesungguhnya bukan hanya terletak pada orangnya. Juga bukan hanya pada bidang politik dan ekonomi saja. Sesungguhnya akar masalahnya ada pada pondasi sistem yang mengakar di tengah masyarakat, juga problem penguasa, intelektual dan para pakar yang mengekor pada paradigma kapitalistik. Ini adalah ancaman nyata bagi negeri ini. Siapapun rezimnya, jika sistem kapitalis liberal ini yang diterapkan, hasilnya tak akan jauh berbeda: GAGAL! Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan negeri ini adalah mencampakkan sistem kapitalisme-liberalisme.

Apakah kita mau anak cucu kita kelak menanggung akibat dari utang ribawi yang haram dan menyengsarakan ini.Layakkah sistem demokrasi kapitalisme ini kita pertahankan, sementara ia hanya melahirkan berbagai kerusakan dan kesempitan hidup?

Tidak ada sistem yang tepat bagi manusia kecuali sistem yang berasal dari sang Khaliq, Allah SWT. Itulah Islam. Sistem yang sesuai fitrah manusia, sistem yang telah teruji selama tiga belas abad dengan menghasilkan peadaban yang gemilang. Islam beserta semua perangkat sistemnya adalah solusi. Solusi yang benar dan ampuh untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kini menghimpit negeri ini. Bukan ancaman seperti yang dipropagandakan selama ini.
Wallau a’lam bish shawab.

Penulis : Nur Yani (Aktivis Muslimah)

0 Comments