UJARAN.OPINI – Kasus kekerasan seksual telah menjadi penyakit sosial sejak bertahun-tahun lamanya ditengah masyrakat terkhusus Indonesia. Bahkan selama pandemi Covid-19 justru semakin bertambah dimuat diberbagai media. Menurut komnas tercatat, sepanjang 2020 sebanyak 4.849 orang mengalami kekerasan seksual. Sementara menurut data laporan dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA), angkanya justru lebih tinggi menunjukkan ada 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 orang.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang sudah diusulkan sejak 2012, kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. Pengesahannya sudah delapan tahun ditunda. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini menjelaskan RUU-PKS ini merupakan UU yang disusun berbasis dari pengalaman dan pendampingan korban kekerasan seksual. (news.detik.com, 16/1/2021).
Maka dengan alasan inilah mereka berharap RUU PKS perlu segera disahkan secepatnya agar ada sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang berpihak pada korban kekerasan seksual.
Namun, jika lebih teliti ada sesuatu hal yang patut kita cermati di balik desakan pengesahan RUU PKS ini. Harusnya kasus kekerasan seksual di negeri ini membutuhkan solusi yang sistemis agar bisa dituntaskan hingga ke akar-akarnya.
Melihat sistem kapitalis yang menauangi sekularisme dan liberalisme maka sangat perlu meningkatkan kewaspadaan di tengah kehidupan kepemimpinan rezim ini. Faktanya, ketika beberapa waktu lalu disahkan UU Minerba, justru disalahgunakan oleh para pengusaha penambangan batu bara justru saat ini telah beralih menjadi pengerukan dan berdampak sangat besar. Hasilnya saat ini adalah bencana alam kronis akut yang terjadi di Kalimantan Selatan.
Menurut Prof. Euis Sunarti, ruh dari RUU-PKS adalah semangat sekularisme karena di dalam pasal itu tidak mengenali agama. RUU-PKS mengesampingkan falsafah dan nilai agama terlebih nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari. RUU-PKS hanya mengatur soal kekerasan seksual, namun soal penyimpangan seksual dan kejahatan seksual tidak diatur. Yang dipersoalkan dalam RUU ini adalah hanya tentang kekerasannya. Jadi, apa pun tindakan penyimpangan seksual dan kejahatan seksual yang dilakukan dengan dasar suka sama suka, baik itu perzinaan, perselingkuhan, LGBT, dan penyimpangan lainnya, tanpa merasa ada pemaksaan, akan dibiarkan saja berkembang hingga akan semakin merusak moral manusia itu sendiri.
Demikianlah sistem demokrasi kapitalisme ketika suatu RUU disahkan menjadi UU, dipastikan saat nanti RUU-PKS disahkan, maka semakin mengganas liberalisasi. Buah pengesahan RUU-PKS juga sudah dapat diprediks, apalagi suasana islamofobia serta deradikalisasi, maka yang menjadi sasaran serangan ide sekuler liberal semakin bebas mengusung ide kebebasan berekspresi, yang sama saja melenyapkan keterikatan terhadap aturan Islam yang akan sangat berbahaya ketika menjangkiti pemikiran kaum muslimin.
Dalam Islam, setiap pelanggaran hukum syariat adalah tindakan kriminal. Penanganan pelanggar hukum menurut Islam selalu dilakukan secara preventif dan kuratif. Dan tanpa upaya preventif, apa pun langkah kuratif yang dilakukan tidak akan pernah efektif. Di sinilah pentingnya memahami Islam sebagai ideology karena setiap permasalahan akan ditangani secara sistematis dan penyelesaiannya hingga ke akar-akarnya. Maka hanya dengan Islam saja kemuliaan umat Rasulullah saw ini terjamin.
Berikut solusi islam dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan penyimpangan seksual. Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat. Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’). Islam membatasi interaksi laki-laki dan perempuan kecuali di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dll).
Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik.
Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku, sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumul hisab nanti.
Ketiga mekanisme Islam yang apik ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara kafah yaitu Daulah Khilafah Islamiah, bukan institusi sekuler liberal. Islam yang diterapkan dalam format negara akan menjaga kehormatan umat akhir zaman ini. Ini pula satu-satunya kehidupan bernegara yang layak dicita-citakan kaum muslimin, yang keberkahannya juga dapat dirasakan nonmuslim.
Itulah negara Khilafah Islamiah.
Allah SWT berfirman, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nuur [24]: 55).
Inilah jaminan yang Allah SWT berikan bagi kaum muslimin dan seluruh penduduk bumi, selama mereka berupaya sungguh-sungguh untuk menerapkan dan melaksanakan aturan-Nya, menjaga kehormatan dan kemuliaan dirinya, serta bernaung dalam negara berideologi Islam, Khilafah Islamiah.
Penulis : Riska Nilmalasari (Aktivis Muslimah)
0 Comments