Dugaan Perampasan dan Penyerobotan Tanah Adat di Bonto Matene Kembali Disoal, Begini Penjelasannya!

Foto: Kuasa Hukum Karaeng Marusu saat mendatangi Kantor Bupati Maros dan menemui Bupati Maros.

UJARAN.MAROS – Kasus dugaan penyerobotan tanah adat di Kampung Barambang, Desa Bonto Matene, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros kembali mencuat. Pasalnya, tersebut diduga dialihkan menjadi tanah garapan yang dibanguni pemukiman warga.

Hal itu terlihat saat kuasa hukum dari keluarga Karaeng Marusu mendatangi Kantor Bupati Maros guna bertemu dengan Bupati Maros, H.A.S Chaidir Syam. Pertemuan itu guna mendapatkan dukungan dari Pemkab Maros dalam menyelesaikan sengeketa tanah adat milik keluarga besar Karaeng Marusu, Abdul Hafid Karaeng Maronrong.

Kuasa Hukum, Hj. Andi Agustina Mapparessa, SH saat ditemui mengatakan, pihaknya akan tetap melanjutkan kasus dugaan penyerobotan tanah adat tersebut.

“Kami tidak gentar dan kami tidak akan mundur sejengkal pun karena kami yakin ada kebenaran yang disembunyikan disitu. Bukti kami juga sementara kami kumpulkan bukti-bukti kuat bahwa tanah tersebut tanah adat yang tidak benar jika dialih statuskan menjadi tanah garapan,” katanya kepada media, Sabtu (7/8/2021).

Sementara itu, Bupati Maros yang ditemui mengatkan, pihaknya akan selalu memberikan dukungan jika untuk mengungkap kebenaran dari dugaan pelanggaran tersebut.

“Walaupun kita belum bisa pastikan ada pelanggaran dalam hal ini kasus penyerobotan tanah adat itu karena kita harus melihat bagaimana lokasi tersebut, namun kami siap memfasilitasi dan memberikan dukungan jika kedua belah pihak ingin menyelesaikan secara musyawarah,” kata Chaidir saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (6/8/2021)

“Kita akan mencari solusinya dan mencari kebenaran. Kita tunggu saja hasilnya bagaimanapun itu karena sebelumnya saya juga sudah sampaikan hal tersebut kepada Karaeng Marusu beberapa waktu lalu saat melakukan audiensi,” tambah Bupati Maros itu.

Kuasa Hukum Karaeng Marusu bersama Bupati Maros, H.A.S. Chaidir Syam

Kendati demikian, Chaidir mengatakan bahwa jika kasus tersebut tidak bisa diselesaikan maka jalan yang ditempuh adalah pada proses hukum untuk membuktikan kebenarannya.

Dikesempatan yang sama, Mantan Kepala Desa Tenrigangkae, Maros, H.S. Anwar Jalil, S.Sos menguraikan historiografi tanah adat itu. Ia mengatakan, bahwa ada sejarah yang coba dihilangkan dari tanah adat itu.

“Masalah ini sudah lama kalau pak bupati menginginkan untuk musyawarah, hal itu buang-buang waktu saja. Kami punya dokumen kuat pada saat kerajaan Hindia Belanda pada saat tahun 40an. Setelah kita merdeka, kami lagi punya dokumen yang diberi nama surat putih yang ditandatangani oleh sapa na’ga pada tahun 1960an dan pajaknya lancar semua mulai jaman Belanda dan dokumennya masih tersimpan rapi di kediaman saya,” jelasnya.

Kalau kami, lanjut H. Supu sapaan akrabnya, pihaknya akan fokus ke pelaporan saja dengan dugaan penyerobotan tanah adat.

“Saya siap jadi saksi utama karena sesuai undang-undang pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tidak ada satupun tertera pasal demi pasal bahasa mencabut atau menggugurkan tentang hak kepemilikan tanah yang berstatus rinci adat, kalau ada undang-undang atau pasal yang mengatur itu, tolong saya ditunjukan atau diperlihatkan karena ada oknum kalau mencoba menghilangkan atau sengaja dikaburkan,” tegas mantan anggota DPRD Maros itu.

Ia juga mengatakan, sejak kepala desa pertama sampai kepala desa yang ketiga yakni dirinya tidak ada perubahan status dan rinci dari tanah adat itu.

“Kalau bukti, saya punya bukti dan saya akan perlihatkan nanti buktinya karena saya memperkirakan saat itu rinci di Tenrigangkae sebanyak 70%. Saya juga punya bukti penagihan pajak sejak tahun 1976 sampai tahun 1991. Intinya kami punya dokumen yang otentik,” jelasnya.

Olehnya itu, dirinya mempertanyakan perubahan rincian status tanah tersebut menjadi tanah negara garapan. Ia menilai hal tersebut merupakan pelanggaran.

“Dalam hal ini sejengkalpun saya tidak akan mundur kalau persoalan keterangan lokasi Karaeng Marusu Abdul Hafid Karaeng Maronrong karena saya pelajari bahwa rinci tanah adat tidak boleh beralih status. Kenapa seperti itu karena ada mafia tanah,” kunci H. Supu. (Red/Pensa)

0 Comments