UJARAN.OPINI – Ahad di pekan kedua Januari 2022 beredar video penendangan sesajen di lokasi terdampak erupsi gunung Semeru, Lumajang. Pria asal NTB bernama Hadfana Firdaus sebagai pelaku tersebut ditangkap dan ditetapkan tersangka.
Dalam keterangan anak muda tersebut, si pelaku, tidak dijelaskan secara rinci mengapa dan apa latar belakang pelaku membuang atau menendang sesajen.
Belakangan saya membaca berita, tindakannya itu terjadi secara spontanitas, sejak awal tidak ada niatan untuk membuat konten dengan merekam aksi tersebut. Didorong oleh pemahaman keagamaannya sebagai seorang muslim, yang kata “muslim” sendiri berarti “memasrahkan diri kepada pencipta dan memurnikan penyembahan kepada-Nya”.
Tentu saja seperti kita tahu tidak ada ritus ibadah tanpa media dan simbol sebagai penyampai pesan doa manusia kepada Tuhannya. Selalu saja, manusia memerlukan simbol, dan di kitab-kitab agama; justru Tuhan menuntun hamba-Nya untuk menggunakan berbagai macam simbol dan medium agar dapat berkomunikasi mesra kepada-Nya. Semua agama, memerlukan sinyal (medium, simbol) agar doanya tepat berlabuh kepada Tuhan.
Begitu pula yang dilakukan oleh Hadfana Firdaus, ingin mewujudkan pemasangan antena yang benar agar televisi doa bisa sampai pada Tuhan. Barangkali yang dimaksudkan adalah, meluruskan cara berdoa yang tepat pada Allah SWT kepada saudaranya sesama muslim sebagaimana ditekankan oleh ajaran Islam itu sendiri.
Oleh karenanya, saya melihat bahwa dia menendang sesajen itu sudah benar, karena dilandasi pemahamannya tentang kegiatan syirik, barangkali dikira pembuat sesajen ini dari orang Islam. Hanya saja yang keliru itu, perbuatan itu dilakukan dengan divideokan, walhasil masuk delik aduan.
Justru juga intoleransi jika kita tidak mengakui pemahaman keagamaan si penendang sesajen itu. Sikap toleransi mesti jangan setengah-setengah, saya kira.
Menerjemahkan “Amr ma’ruf nahi mungkar” dalam ayat Qur’an, tiap golongan dalam Islam beda-beda. Kita harus mengakui itu, itu toleransi.
Yang jadi soal, kita tidak tahu latar belakang kenapa ada aksi tendang sesajen oleh pelaku. Ini kalo sudah clear, baru kita bisa menilai secara holistik. Makanya saya katakan sejak awal, dia itu (penendang sesajen) benar menurut pemahaman keagamaannya. Hanya saja, menjadi keliru karena dia tidak paham, kalo dampak domino dari mengikutkan aksi merekam dan menyebarkan video itu menjadi bisa berbahaya dan salah paham, mengancam keutuhan kehidupan umat beragama.
Menuduh tanpa klarifikasi juga bukan ajaran Islam.
Saya mau disclaimer: Ini jika, dan hanya jika kasus penendang sesajen tadi, pertama, karena ingin meluruskan keyakinan masyarakat agar tidak seperti non-muslim. Kedua, perbuatan itu dilandasi perintah memurnikan akidah sesama Muslim. Ketiga, sudah ada sebelumnya dialog dengan masyarakat muslim (di sekitar gunung itu) pengamal sesajen untuk meninggalkan kegiatan syirik tersebut, sehingga akhirnya muncul aksi penendangan sesajen.
Maka jika situasinya seperti tiga kategori itu, apalagi jika situasinya dibalik, tanpa divideokan; saya katakan bahwa saya juga setuju dan tidak ada masalah dgn aksi penendangan sesajen tersebut. Saya toleran saja.
Meluruskan akidah untuk tidak menyembah gunung atau batu, itu perintah Tuhan. Dan ini berguna bagi muslim awam.
Tapi, penendangan sesajen tidak berguna untuk muslim yang memiliki pengetahuan profetik/rausyan fikr/intelektual organik. Sebut saja seperti selevel Ibnu ‘Arabi, Mulla Sadra, ahli ma’rifat, sufi, dan lain-lain.
Karena saat orang menyembah pohon sekalipun, yang dia sembah pada akhirnya bukan pohon, tapi kekuatan yang menciptakan pohon itu. Kekuatan di balik pohon itu sebut Ibnu ‘Arabi.
Umat muslim di seluruh dunia menghadapkan wajah dan sujudnya ke Ka’bah, bukan menyembah Ka’bah. Tapi menyembah Zat di balik Ka’bah.
Saya kira, hukum itu masih punya banyak pendekatan untuk memberi keadilan bagi semua (korban, pelaku, dan masyarakat) termasuk untuk menyelesaikan kasus penendangan sesajen tersebut. Terutama dalam peradilan pidana dibedakan tiga bentuk peradilan pidana, yakni ada retributive justice (keadilan retributif), distributive justice (keadilan distributif), dan restorative justice (keadilan restoratif). Agar menghindari kesan hukum kita tidak tajam ke bawah dan di sisi yang lain tumpul ke atas.
Apalagi jika Polri bisa menyelidiki dulu siapa penyimpan sesajen, apakah dari kalangan muslim atau non-muslim. Sebab, jika penyimpan sesajen itu muslim, maka restorative justice bisa digunakan.
Kita masih bisa mengedepankan restorative justice, atau setidak-tidaknya distributive justice bagi kasus tersebut.
Dalam restorative justice, bahkan tersedia paling sedikit lima lagi pendekatan keadilan.
Di antaranya, pertama yaitu court-based restitutive and reparative measure; di Inggris dicetuskan oleh gerakan “Tesis Masyarakat Berperadaban (civilization thesis)” melalui tuntut ganti kerugian oleh pelaku sebagai bentuk reparasi terhadap korban yang menjadi pilihan bagi penegak hukum kita untuk bisa diterapkan, demi kepuasan dan asas damai dalam hidup bernegara secara hukum.
Bentuk pendekatan yang kedua, ada victim-offender mediation programmes yaitu menitikberatkan kepada rekonsiliasi antara pelaku dan korban dalam menyelesaikan masalahnya. Pendekatan ini pertama kali dipengaruhi oleh Christian Mennonite Movement.
Pendekatan ketiga, restorative conferencing initiatives yaitu menekankan kepada konferensi polisi dan warga sebagai sarana penyelesaian kasus pidana. Lagi terdiri dari dua bentuk yaitu family group conference dan police-led community conferencing yang lebih khusus dapat menjadi pilihan pendekatan.
Keempat, sebagai pendekatan tersedia community reparation board and citizens panel. Jika di Scotlandia ada konsep children hearing system, maka barangkali ada diskusi musyawarah panel bersama di balai kota atau desa dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sebab pendekatan keempat ini menekankan pada mekanisme panel antara warga dan dewan masyarakat dalam melihat dan memecahkan suatu tindak pidana. Jika di Indonesia, seperti penyelesaian secara adat dan norma.
Sedangkan kelima, pendekatan healing and sentencing circles sebagai sub-pendekatan dari restorative justice. Sebagaimana kebiasaan masyarakat asli Kanada yaitu mengikutsertakan semua pihak yang biasanya terlibat dalam peradilan tradisional atau adat ke dalam peradilan konvensional yang berlaku secara umum.
Dengan kata lain, healing dimaksudkan memulihkan pihak yang terkena dampak secara langsung dari tindak kejahatan pun pelanggaran. Sedangkan sentencing circles, seperti namanya; adalah proses inisiatif masyarakat bersama dengan sistem peradilan pidana bekerjasama dalam mencapai persetujuan mengenai rencana pemidanaan yang akan diterapkan.
Olehnya demikian, perihal sesajen adalah bentuk ungkapan rasa syukur sebagian tradisi masyarakat Islam Indonesia yang dialamatkan kepada alam dan Tuhan; adalah menjadi bentuk ekspresi kultural masyarakat setempat yang bercampur baur dengan berbagai kepercayaan yang diyakininya.
Di sisi yang lain, secara normatif-skriptual agama setidaknya memberikan batasan terkesan ketat tentang ritus-ritus syariah yang ditafsirkan oleh ulama dan sarjana Islam. Padahal banyak konten redaksi sumber skriptual agama itu bersifat umum dan global, sehingga ia menjadi sumur yang selalu dijadikan tempat untuk mengambil (menafsirkan) air ilmu dan pengetahuan, dengan berbagai bentuk perspektif dan ragam. Akhirnya, diwujudkan dalam berbagai pengamalan tata cara ritus keagamaan yang berbeda-beda walaupun dari sumber yang sama.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah jika kita memiliki perspektif yang berbeda dengan sudut pandang pemahaman orang atau kelompok lain sehingga membuat kita secara mudah saling menyalahkan? Apalagi jika tanpa saling menunjukkan jalan hikmah (kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik?
Manusia memang sering khilaf dan salah, betapapun banyak penguasaan kita akan ilmu dan pengetahuan. Semoga pikiran kita tercerahkan dan mengambil pelajaran.
Penulis: Muhammad Syarif Hidayatullah. (Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute, Penulis Pengidap Fakir Ilmu).
Editor: Kasmir
Semua isi tulisan merupakan tanggungjawab penulis.
0 Comments