UJARAN.OPINI – Apa yang terlintas di perempatan neuron Anda ketika mendengar kata primitif, terbelakang, dan orang suku? Atau malah yang terbayang hanya manusia-manusia telanjang dada dengan membawa tombak sebagai senjata perburuan?
Primitif adalah sifatnya. Masyarakat primitif adalah sekelompok orang yang memiliki sifat-sifat primitif itu sendiri.
Lalu, sifat primitif itu yang seperti apa? Arti kata primitif sangat luas sekali; tergantung kita memaknainya sebagai apa: sebagai ketergantungan pada alam, penolakan modernisasi, pembuatan sekat sosial, ataupun sebuah tindakan barbar.
Tulisan ini berangkat dari sebuah twit seorang lelaki yang meminta pacarnya memperlihatkan apakah dirinya masih perawan atau tidak. Setelah dicek, lelaki mengetahui kalau pacarnya ini sudah tidak perawan dan ia mengajak pacarnya pergi ke dokter bersama-sama untuk konsultasi.
Iya, saya akan berangkat dari pernyataan konyol seorang lelaki tersebut. Saya tegaskan sekali lagi, YA! Ya besar! Saya akan berangkat dari pernyataan yang amat sangat a… ah sudahlah.
Pertama, ada kejanggalan dari pernyataan lelaki tersebut. Bahwa ia mengecek keperawanan pacarnya dan ia mengetahui kalau pacarnya sudah tidak perawan.
Bisakah keperawanan dicek hanya melalui pengamatan indra mata saja? Oh ya, dari pernyataan lelaki tersebut, ia tidak melakukan hubungan badan untuk mengecek keperawanan pacarnya. Hasil tes keperawanan mana yang dapat diambil kesimpulannya hanya dengan mengamati tanpa “memasuki” ke dalam “dunia”-nya tersebut?
Kedua, status hubungan mereka hanya “berpacaran”. Saya tegaskan sekali lagi: BERPACARAN.
Lelaki macam apa yang berani meminta ke pacarnya untuk memperlihatkan bahwa dirinya masih perawan atau tidak? Perempuan sesabar apa yang mau dicek keperawanannya oleh seorang lelaki yang masih berstatus sebagai pacar?
Tentu ada yang tidak beres dalam hubungan mereka. Kalau tidak ambisi cinta yang berlebih, atau karakteristik yang lemah.
Pasti para pembaca bingung, pada paragraf pertama saya membuka dengan pembahasan “primitif” lalu paragraf selanjutnya dan seterusnya malah beralih pada “keperawanan”. Jadi, sebenarnya dalam tulisan ini saya akan membahas “keperawanan” melalui kacamata “masyarakat primitif”.
Kalau biasanya orang-orang modern yang menjadikan keperawanan sebagai “puncak tujuan yang bersifat sementara” dalam pernikahan, tertawa menyaksikan ritual-ritual khas masyarakat primitif yang menurut mereka nyeleneh. Kali ini saya akan membuat masyarakat primitif menertawai kekonyolan penilaian masyarakat modern atas keperawanan.
Masyarakat modern menilai keperawanan adalah hal intim yang tidak boleh diusik kalau belum memiliki hubungan sah ataupun memilikinya dan berdaulat sepenuhnya atas diri tersebut.
Tetapi, ada pula yang mengusik keperawanan tanpa melalui hubungan sah. Masyarakat primitif (sebagian) menilai keperawanan adalah hal yang kalau bisa dihindari. Ada beberapa suku di Australia, jika seorang gadis sudah memasuki masa pubertas kemudian merobek selaput darahnya.
Sigmund Freud dalam bukunya Deviant Love menuliskan beberapa suku yang melakukan perobekan atas selaput darah. Pertama, di Diyari dan suku-suku sekitarnya (Australia) ketika seorang gadis memasuki masa pubertas, maka selaput darahnya kemudian akan dirobek. Kadang juga ada yang dilakukan pada saat bayi, tapi umumnya pada masa pubertas.
Kedua, di suku Masai (Afrika), perobekan selaput darah dilakukan oleh ayah pengantin perempuan. Ketiga, di Filipina, ada lelaki tertentu yang berprofesi memerawani pengantin perempuan jika pada saat masa kanak-kanak tidak dirobek oleh seorang perempuan tua. Keempat, di suku-suku Eskimo yang dipercayakan kepada tokoh suku atau pendeta.
Di atas adalah beberapa suku yang melakukan ritual perobekan selaput darah yang ditulis Sigmund Freud pada sekitar tahun 1931.
Menurut Freud, perobekan selaput darah yang dilakukan oleh orang-orang suku mengacu kepada ketakutan lelaki primitif akan darah, karena darah dipandang sebagai inti kehidupan. Lelaki primitif juga mengalami ketakutan pada peristiwa pertama. Menurut Freud, lelaki primitif adalah pemangsa pada disposisi kecemasan yang menetap.
Freud berkata, Disposisi kecemasan ini paling terlihat pada semua peristiwa yang berangkat dalam beberapa cara dari yang paling umum dikenal, dan yang memperkenalkan sesuatu yang baru dan tidak diduga, sesuatu yang tidak dimengerti atau asing sekaligus menakutkan.
Bagaimana? Apa Anda masih ternganga membaca fakta-fakta yang terjadi pada masyarakat primitif yang ditulis Freud? Suatu hal yang menurut adat masyarakat modern adalah sakral dan perlu dijaga bisa berbalik 180 derajat jika dipandang dengan “kacamata” masayarakat primitif.
Kita tidak bisa menjustifikasi bahwa ritual masyarakat primitif adalah salah dan penilaian kita sendiri adalah benar. Itu adalah kebiasaan yang sudah terbentuk turun-temurun dan terstruktur.
Untuk masyarakat modern yang mengultuskan keperawanan, kalian boleh berpikir modern, tetapi soal penilaian keperawanan yang bersifat egosentris, cobalah melihat menggunakan “kacamata” masyarakat primitif: yang tidak mempermasalahkan jika tidak dapat, maaf, darah pertamanya.
Pasanganmu juga orang yang tumbuh dari dunianya sendiri. Dunianya yang ia jalankan sebelum mengenal kalian sebagai pasangan sah. Dunianya yang dulu biar jadi sejarah kelam yang ia genggam. Sekarang, adalah dunia kalian berdua yang mesti ditenun menjadi bentangan kain indah yang membalut tubuh kalian berdua.
Untuk lelaki yang mengecek keperawanan pacarnya: “Perawan? Ha-ha-ha..,” kata lelaki primitif sambil menyantap hasil buruan dengan telanjang dada.
Penulis: A. Wahyu Pratama Hasbi (Mahasiswa HTN UIN Alauddin Makassar)
0 Comments