Penulis : A. Wahyu Pratama Hasbi
UJARANCOM, OPINI - Memasuki Perguruan tinggi dalam hal ini adalah dunia kampus tentulah berbeda dengan dunia pembelajaran yang ditempuh ketika masih duduk dibangku sekolah menengah. Berlabelkan Mahasiswa tentulah tak segampang dengan menyandang status Siswa. Tuntutan bernalar kritis sebagai agen perubahan menjadi unsur perbedaan yang mencolok antara Mahasiswa dan Siswa. Upaya kemandirian dalam menuntut ilmu pengetahuan harus selalu digalakkan dalam pencarian identitas sebagai Mahasiswa, sebab berbeda ketika menyandang identitas siswa yang hanya disuap oleh para pengajar dalam hal ini adalah guru. Pencarian identitas pun terus saya lakukan, mulai dari menelusuri tiap sudut dunia kampus sampai harus masuk gorong-gorong terpencil itu
Menemui berbagai wajah Mahasiswa dari yang apatis sampai idealis, dari yang hedonis hingga aktivis. Hingga pada titik kejenuhan, saya menemui satu hal berbeda dari semua itu yakni Himpunan Mahasiswa Islam.
Tulisan ini mungkin hanya akan berisi unek-unek terhadap HMI. Saya adalah orang yang betul-betul mengalami proses di HMI. Berawal dari seorang yang diyakinkan dan di bujuk oleh seorang kaka, sampai menjadi seseorang yang terkadang terlalu cape menghabiskan sebagian waktunya di HMI.
Saya kira siapapun itu—aktivis HMI maksud saya–pasti akan mengalami hal yang sama. Setiap orang berproses menjadi semakin HMI. Namun proses itu kadang membawa saya merenung: kapan proses ini akan berakhir? Lalu, di tengah jalan, saya sering berpikir lebih gila: kenapa saya harus berproses di HMI, padahal saya terkadang tidak terlalu tahu apa tujuan saya berproses di HMI.
Bahkan, masih pentingkah HMI dalam kehidupan saya? Terus terang itulah kira-kira yang sangat mengganggu saya belakangan ini. Saya berpikir HMI jangan-jangan telah menjadi, sepenuhnya, non-faktor dalam kehidupan saya.
Bayangkan, jika di HMI tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa selain teknik lobi, di HMI tidak diberikan keterampilan apa-apa, selain skil untuk menang sendiri, di HMI tidak mendapatkan pengalaman religiusitas apa-apa, selain pengalaman religiusitas hipokrit yang so liberal atau so religius. Alih-alih mendapatkan pelajaran semangat berkorban bagi organisasi atau orang lain, di HMI mungkin saja mendapatkan pelajaran melakukan sesuatu karena insentif tertentu: mungkin saja karena punya target politik, karena itu aku berbuat sesuatu. Alih-alih mengedepankan intelektualitas, di HMI belajar bagaimana mengorganisir masa dan melobi kekuatan-kekuatan yang ada, di HMI tidak belajar bagaimana caranya mandiri karena selalu diajarkan bagaimana caranya meminta uang kepada abang-abang.
Di HMI semua kader diajarkan bagaiamana caranya membina hubungan berdasarkan patron-klien. HMI kehilangan daya kritisnya, kehilangan sensitifitasnya, kehilangan pikirannya. Yang tersisa tinggal nafsunya.
Belum lagi kalau melihat kepengurusan PB HMI yang terus menerus saling cabik mencabik selama priode kepengurusan, tanpa henti. Bayangkan, tanpa henti. Sesekali mereka istirahat dari pertempuran, israhat untuk mengumpulkan tenaga dan mengkoordinasikan bala tentara dari setiap cabang, untuk kemudian melanjutkan lagi pertempuran. Para pengurus PB itu memang tidak punya kegiatan lain selain bercakar-cakaran. Penyebabnya diindikasi sederhana, terindikasi mereka masuk jadi pengurus PB bukan karena punya visi, dedikasi, punya konsep dan punya kemampuan, tapi karena mereka pada intinya: broker, preman, atau tukang palak.
Saya sempat berpikir, kenapa mereka bercakar-cakaran mungkin karena mereka sadar betul dengan apa yang diungapkan Tomas Hobbes bahwa manusia itu sedianya (satate of nature) selalu saling cakar mencakar, hommo homini lupus. Atau mereka paham betul doktrin-doktrin politik Machiavelli dalam Ill Principe. Tapi ternyata tidak. Mereka biasa berpolitik, namun tidak biasa membaca teori-teori politik.
Dan seandainya laut dijadikan tinta serta ranting-ranting yang ada dijadikan penanya untuk menuliskan segala keburukan HMI, niscaya tak akan cukup itu semua.
Saya kira, apa yang menyebabkan orang seperti saya, dan semua kader lain yang masih diam di kapal yang sudah karam ini, masih bertahan di HMI adalah semata-mata karena utopia dan romantisme. Kita masih dihinggapi rasa bangga masa lalu; kita masih diberikan harapan bahwa HMI bisa membuat kita lebih baik karea proses pengkaderannya baik; atau bagi para preman dan broker, mereka masih betah di HMI karena HMI masih bisa dipakai untuk ngancam atau jualan. HMI seperti tato menyeramkan di tubuh seorang preman.
Sadarlah saudara-saudaraku, HMI sudah menopouse, sudah tidak seksi, sudah tidak menarik untuk di gauli. HMI mengembangkan intelektualisme yang nanggung sekaligus semangat religiusitas yang tidak jelas.
Dan sayang sekali bagi kalangan preman dan broker pun, HMI sudah tidak kuat lagi. Dia kalah masa dibandingkan, misalnya PMII, atau IMM. Mereka punya rumah kultural, PMII punya NU, IMM punya Muhammadiah. Sementara HMI senantiasa berdiaspora, tidak jelas di mana rumahnya. “Justru itu kelebihan kita” ujar seorang teman saya “karena itu, kita bisa betul-betul independen.” “Ya”, saya jawab “kalau kita bisa menjalankan independensi HMI dengan benar, kalu kita punya kemampuan baik skil atau intelektualisme. Tapi dalam kenyataannya, justru karena kita tidak punya rumah kultural, dan karena kita tidak punya kemampuan apa-apa, kader kita akhirnya jualan ke mana-mana. HMI dijual murah dan di obral.” Dan naifnya, yang membeli itu bukan karena mereka membutuhkan tenaga dan kemampuan kita. Mereka membeli karena takut pada kita atau kasihan pada kita.
Mungkin dari segi jaringan dan struktur organisasi, HMI masih bisa dibanggakan. Kita punya sekitar 150-an cabang di seluruh Indonesia. Tiap tahun cabang baru terus menerus bermunculan. LK-LK juga masih terus di adakan. Tapi ingat saudaraku, cabang-cabang itu bermunculan bukan karena secara kuantitas anggota HMI bertambah, atau bukan karena HMI terus bermunculan di Univeritas-universitas baru yang ada di daerah. Cabang-cabang baru tersebut bermunculan karena latar belakang konflik. Karena kalah kontestasi dalam pemilihan ketua cabang atau badko, teknik lobi dan teknik mengorganisir masa digunakan: buat cabang atau badko tandingan. Mereka tidak punya pilihan lain karena kontestasi di level intra universiter sudah tidak memungkinkannya lagi menang. Mereka tidak punya pilihan lain karena dalam benaknya, karier puncak di HMI itu adalah dengan menempati posisi-posisi jabatan stuktural, bukan dengan cara lain.
Posisinya dalam pergaulan mahasiswa juga tidak jelas. Dari kalangan kanan, kita selalu diidentikan dengan para mahasiswa yang sekuler, tidak religus, tidak saleh. Kalangan kiri menganggap kita antek-antek orde baru, antek-antek golkar, sahabat militer.
Seperti halnya tak ada asap kalau tidak ada api, maka tidak akan ada stigma seperti itu kalau tidak ada presedennya dalam relitas. HMI menerapkan semangat liberalisme semu yang sama sekali tidak dibarengi oleh landasan filosofisnya. HMI juga tanggung dalam menerapkan satu pola keberagamaan dan religiusitas. Tidak seperti LDK atau KAMMI. Mungkin ada beberapa orang yang fasih berbicara liberalisme atau yang lainnya. Juga mungkin ada banyak orang yang mendapatkan pengalaman beragama mendalam. Tapi silahkan tanya oleh anda, apakah dia mendapatkan semua pengetahuan itu di HMI, apakah semua itu karena pengkaderan di HMI. Saya tidak terlalu yakin kalau dia mengaku mendapatkan itu semua dalam pengkaderan di HMI.
Lalu kenapa kita masih bertahan HMI? Karena Cinta….
Hampir tak ada alasan lain untuk bertahan di HMI selain karena terlanjur. Terlanjur cinta, mungkin.
Dan saya kira, itulah yang membuat saya masih mau menggerakan jari-jari mengarungi belantara kata-kata, baris, tanda baca dan titik-koma dan membuat tulisan ini. Terkesan alturistik dan so romantik memang. Tapi saya kira tidak ada alasan lain yang bisa membuat saya bisa bertahan di HMI. Kalau saya memakai logika saya yang jernih, dan menerapkan hasil penalaran itu dalam sikap saya, maka saya seharusnya tak lagi di HMI. Hampir tak ada alasan logis untuk bertahan di HMI. Seharusnya aku bukan HMI.
Tapi masih ada alasan, meski bukan alasan rasional: cinta. Cinta itu bukan bagian dari struktur rasio. Cinta itu bagian non-rasional dalam fakultas manusia. Cintalah yang membuat para tentara Jepang melakukan harakiri, dengan menabrakan pesawatnya ke Pearl Harbour, dalam perang dunia ke dua. Cintalah yang membuat orang bangga berkata: right or wrong it’s my country. Cinatalah yang membuat Romeo dan Juliet menjadi legeda. Bahkan, cintalah yang membuat semesta realitas menjelma.
Cinta itu sesuatu yang tidak mungkin diungkapkan, karena sejatinya tidak perlu diungkapkan. Cukup dirasakan, cukup dinikmati, cukup diratapi.
Dan cinta itu adalah memberi bukan menerima, kata Erich Fromm. Kata-kata itu begitu dalam maknanya. Memberi itu membuat seseorang aktif, dinamis dan sekaligus menunjukan eksistensinya. Rasul kita Muhammad mengajarkan, tangan datas lebih baik dari tangan di bawah, karena tangan di atas itu memberi sementara tangan di bawah itu menerima. Memeberi sebenarnya adalah tindakan penyatuan. Dan itulah esensi dari cinta: mengatasi rasa keterasingan dan keterpisahan. Cintalah yang membuat kita tidak sendiri, meski menurut Chairil Anwar hidup adalah kesunyian nasib masing-masing.
Dalam mitologi Yunani kita bisa menemukan sebuah legenda tentang manusia. Konon, manusia pada awalnya adalah mahluk yang maha gagah. Dia mempunyai empat mata, dua mulut, empat tangan empat kaki, dengan satu wajah. Karena kekuatan manusia yang tak tertandingi itu para dewa cemburu dan akhirnya mereka membuat konspirasi untuk menghancurkan manusia. Dalam sebuah pertarungan akhrnya manusia kalah, tubuhnya terbelah dua. Semenjak tubuhnya terbelah dua ini, kekuatannya menjadi hilang. Satu bagian menjadi laki-laki dan satu bagian menjadi perempuan. Kedua bagian tubuh itu senantiasa ditakdirkn untuk terpisah selamanya. Namun satu sama lainnya terus saja mencari untuk pada momen-momen tertentu menyatu. Yang menyatukan mereka adalah cinta, semacam hasrat penyatuan dan hasrat mengatasi kesendirian. Pada saat momen-momen penyatuan oleh cinta itulah manusia mendapatkan kembali kekuatannya sebegaimana sebelum di belah (dipisahkan) oleh para dewa. Itulah kenapa manusia bisa mendaki gunung tertinggi, mengarungi samudara yang tak terpermanai, melakuan hal-hal yang sepertinya mustahil.
Dalam karyanya, Fromm pernah mengemukan dua modus eksistesi dalam cinta. Cinta itu ada yang bersifat “memiliki” (to have) dan ada yang “menjadi” (to be). Modus relasi dalam cinta yang memiliki itu seperti ralasi dua benda, atau subjek dengan benda. Polanya: “saya” (i) dan “sesuatau” (it). Kata-kata dalam kehidupan kita sebagian besar mencerminkan hal tersebut: “saya punya pacar”; “pacar gue”, “cewe gue” dan lain-lain. Hubungan antara manusia dengan manusia lain telah, meminjam istilah kaum Marxsis, tereifikasi, terbendakan. Kekasih telah, dengan tanpa sadar tentunya, diposisikan seperti “kepunyaan” yang bisa kita miliki. Di miliki artinya bisa dikuasai. Yang dikuasai biasanya memberikan apa yang menjadi miliknya dengan, bukan karena keikhlasan, terpaksa. Penguasa cenrung ingin diberi, dihargai, dilayani. Kekasih telah turun derajatnya menjadi benda. Cinta ini ciri utaanya adalah menerima, atau diberi.
Seharusnya cinta itu memberi, bukan diberi. Dalam cinta yang seperti ini, pola interaksinya adalah: “aku” dan “kamu” bukan “aku” dan “sesuatu”. Dalam pola seperti ini, kita memposisikan masing-masing pasangan sebagai manusia yang punya keinginan, punya otonomi dan kemandirian, punya ego. Karena itu dalam pola yang seperti ini pasangan duduk sama tinggi dan saling menghormati. Dalam pola seperti ini, tak ada keinginan salah satu harus menjadi apa yang diinginkan oleh yang lain. Kedunya harus menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi apa yang diinginkan pasangannya. Karena itu cinta seperti ini adalah cinta yang “menjadi”. Satu model cinta yang dinamis dan senantiasa dibentuk dalam perjalanan. Berdialektika menaiki tangga tanpa henti. Berproses untuk semakin dewasa, semakin mawas diri, semakin arif, semakin militan dan lain-lain.
Dan seharunya cinta di HMI ini adalah cinta “memberi”. Karena itu pulalah orang bijak berkata: jangan kau tanya apa yang telah kau dapatkan dari bangsamu, tapi bertanyalah apa yang telah kau berikan buat bengsamu itu.
Kalau ada seorang kader yang masih berpikir dirinya tidak mendapatkan apa-apa dari HMI, seperti saya, maka kader tersebut belumlah menghayati bagaimana seharusnya dia hidup di HMI. HMI tidak bisa memberikan apa-apa. Kita yang harus memberi, karena menurut Fromm, ketika kita memberi, maka kita menerima. Menerima adalah konsekuensi logis dari tindakan memberi.
Seharusnya seperti itulah kita hidup di HMI
0 Comments