Setelah Putusan MK Mungkin Kotak Kosong Tinggal Sejarah, PKN Sulsel: Kalau Gini Gak Perlu 50 M Lagi


Nurhidayatullah B Cottong, Sekretaris PKN Sulawesi Selatan

UJARAN, Makassar - Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan monumental terkait pemilihan kepala daerah (pilkada). Suara riuh dari berbagai sudut kota menggema, menyambut keputusan yang mengubah syarat pengusulan pasangan calon (paslon) untuk pilkada. 


Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tidak lagi mengikat partai politik atau gabungan partai politik dengan ketentuan ambang batas kursi DPRD atau suara sah dalam mengusulkan paslon. Kini, suara sah parpol atau gabungan parpol yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi penentu.


Di tengah keramaian berita ini, Nurhidayatullah B. Cottong, Sekretaris Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Sulawesi Selatan, berdiri di depan kamera, menyampaikan pendapatnya dengan nada penuh optimisme. Baginya, ini adalah kabar baik, tidak hanya bagi partai politik, tetapi juga bagi setiap figur yang berambisi memimpin daerahnya, terutama di Pilgub Sulsel. 


"Putusan ini membuka peluang bagi banyak calon pemimpin untuk tampil, bukan hanya mereka yang didukung oleh partai-partai besar," ujarnya, Selasa (20/08/24) di salah satu kedai kopi kepada wartawan.


Sulawesi Selatan, dengan DPT yang melebihi 6 juta, kini membutuhkan dukungan suara sah sebesar 7,5% untuk mengusulkan paslon di Pilgub. Syarat ini, menurut Jajat sapaan akrabnya adalah angin segar yang menyapu kekhawatiran akan munculnya calon tunggal, fenomena kotak kosong yang menghantui demokrasi lokal dalam beberapa tahun terakhir. 


"Keputusan ini mengubur kemungkinan kotak kosong," tegasnya, mengartikan putusan MK sebagai upaya penyelamatan demokrasi di tanah air.


Tidak dapat dipungkiri, keberadaan kotak kosong di berbagai pilkada sebelumnya telah menjadi momok yang mereduksi esensi demokrasi itu sendiri. 


"Demokrasi adalah suara rakyat, dan setiap suara harus memiliki tempat," Tambah politisi muda ini. Baginya, keputusan MK adalah tameng bagi demokrasi yang tengah diuji oleh kekuatan-kekuatan yang ingin mengekangnya.


Di jalan-jalan, obrolan masyarakat mulai berubah. Warung kopi menjadi tempat diskusi hangat tentang masa depan pilkada di Sulawesi Selatan. Banyak yang mulai bermimpi kembali, melihat putusan MK sebagai cara agar mereka bisa lebih terlibat dalam menentukan pemimpin daerah mereka. 


"Setiap suara rakyat mampu menjadi pengusung bos, kalau gini gak butuh 50 M lagi kan" kata Jajat sembari bercanda. Putusan ini bukan hanya soal persyaratan teknis, tetapi tentang kepercayaan bahwa suara kecil pun memiliki kekuatan besar dalam membentuk masa depan. 


MK telah menjadi benteng terakhir demokrasi, melindungi hak setiap warga negara untuk dipimpin oleh sosok yang benar-benar mereka pilih. Tidak lagi ada ketakutan bahwa pilihan akan terbatas pada satu nama, satu figur yang bisa saja dipaksakan oleh kekuatan partai besar.


Saat matahari mulai condong ke barat, harapan baru ini menyebar ke seluruh pelosok Sulawesi Selatan, meresap ke dalam hati rakyat yang merindukan perubahan. MK telah bicara, dan keputusan mereka adalah jaminan bahwa setiap sudut suara, sekecil apapun, akan didengar dan dihitung dalam pilkada mendatang. Bagi Jajat ini adalah bukti bahwa demokrasi masih hidup, dan kotak kosong kini hanya menjadi bagian dari sejarah yang perlahan dilupakan. (As).

0 Comments