UJARAN.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Permohonan ini diajukan oleh PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai, dua agen LPG 3 kg, yang merasa dirugikan oleh ketentuan perpajakan saat ini.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani pada Senin (17/3/2025), kuasa hukum Pemohon, Timbul P. Siahaan, menyampaikan perbaikan permohonan terkait pengujian Pasal 4 ayat (1) UU HPP. “Kami mengajukan pengujian materiil terhadap frasa ‘setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak’ dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU HPP,” ujarnya.
Timbul menjelaskan bahwa perubahan tersebut dilakukan karena UU HPP merupakan undang-undang terbaru tentang perpajakan. “Kami mengganti rujukan dari UU Nomor 36 Tahun 2008 menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan,” terangnya.
Selain itu, Timbul juga menegaskan kedudukan hukum para Pemohon sebagai badan hukum privat. “Kami telah menjelaskan bahwa Umar Arief selaku Direktur berhak untuk mewakili PT Gemilang Prima Semesta dan Ahmad Saqowi selaku Direktur berhak untuk mewakili CV Belilas Permai,” sebutnya.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya frasa ‘setiap tambahan kemampuan ekonomis’ dalam Pasal 4 ayat (1) UU HPP, yang dianggap memiliki makna terlalu luas. “Ketentuan ini menciptakan ketidakpastian hukum karena tidak secara eksplisit menyatakan bahwa objek pajak harus ditentukan berdasarkan undang-undang,” jelas Timbul.
Akibatnya, pajak dikenakan atas biaya transportasi yang besarannya ditentukan oleh keputusan gubernur, wali kota, atau bupati. “Pemajakan terhadap biaya transportasi ini merugikan wajib pajak, khususnya bagi mereka yang mengangkut gas LPG 3 kg dari agen ke pangkalan,” tambahnya.
Pada sidang pendahuluan sebelumnya (4/3/2025), para Pemohon menyampaikan bahwa mereka mengalami kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual akibat ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 4 ayat (1) UU PPN. “Kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus didasarkan pada undang-undang,” ujar Timbul.
Para Pemohon berharap Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan frasa ‘… diterima atau diperoleh Wajib Pajak …’ dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPh bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘… diterima atau diperoleh Wajib Pajak secara langsung berdasarkan perbuatan berdasarkan perundang-undangan…’. “Kami berharap Mahkamah dapat memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha seperti kami,” pungkas Timbul.
Sidang perbaikan permohonan ini merupakan langkah lanjutan dalam proses uji materi yang diajukan oleh PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai. Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan perbaikan permohonan ini sebelum mengambil keputusan selanjutnya.
Dengan adanya uji materi ini, diharapkan terdapat kejelasan dan kepastian hukum terkait objek pajak, sehingga para pelaku usaha dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik. “Kami berharap hasil dari uji materi ini dapat memberikan keadilan bagi para wajib pajak,” tutup Timbul.
Mahkamah Konstitusi akan menjadwalkan sidang lanjutan untuk mendengar keterangan dari pihak terkait sebelum mengambil keputusan akhir. “Kami siap mengikuti proses hukum yang berlaku demi mendapatkan keadilan,” ujar Timbul.
Para Pemohon berharap Mahkamah Konstitusi dapat segera memberikan putusan yang adil dan memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha di sektor distribusi LPG 3 kg. “Kami menantikan keputusan yang terbaik dari Mahkamah,” tutup Timbul.
0 Comments